Ad Code

Media Center Pelajar NU Babadan adalah wadah informasi dan komunikasi yang dikelola pelajar Nahdlatul Ulama (NU) di Babadan. Tujuan utamanya adalah sebagai sarana publikasi, edukasi, dan memperkuat komunitas pelajar NU. Media Center ini berupaya mendokumentasikan kegiatan, mengedukasi, serta menyebarkan informasi yang relevan bagi pelajar & masyarakat NU.

Distribusi Kader adalah Regenerasi atau Oligarki Terselubung?

Dalam sistem kaderisasi organisasi kepemudaan, regenerasi kepemimpinan seharusnya berlandaskan prinsip meritokrasi dan keterbukaan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: distribusi kader di tingkat strategis semakin menunjukkan kecenderungan eksklusif yang hanya mengorbitkan individu dengan rekam jejak tertentu—khususnya mereka yang pernah menduduki kursi ketua. Kecenderungan ini tidak sekadar menjadi anomali kaderisasi, tetapi merupakan gejala oligarki terselubung yang menggerogoti organisasi dari dalam. Sebuah mekanisme yang secara struktural meminggirkan kader-kader progresif yang memiliki kompetensi, militansi, dan daya juang, tetapi tidak masuk dalam kategori "elite kepemimpinan" yang telah terbentuk. Dalam skema ini, organisasi justru mengerdilkan potensinya sendiri dan mempersempit ruang gerak kaderisasi yang seharusnya menjadi dinamis, inklusif, dan transformatif. 

Mekanisme Reproduksi Elite: Kaderisasi atau Dinasti Struktural? 

Konsep sirkulasi elite yang dikemukakan Vilfredo Pareto (1916) dalam The Mind and Society menyatakan bahwa kelompok elite dalam suatu sistem cenderung mereproduksi dirinya sendiri melalui mekanisme seleksi yang tidak terbuka (Pareto, 1916). Jika organisasi hanya memberikan ruang kepada mereka yang memiliki riwayat jabatan ketua, maka regenerasi kepemimpinan yang terjadi bukanlah kaderisasi dalam arti yang sesungguhnya, melainkan pembentukan dinasti kecil yang melanggengkan eksklusivitas. 

Dalam konteks gerakan sosial, Robert Michels (1911) dalam Political Parties mengemukakan konsep "Hukum Besi Oligarki" (Iron Law of Oligarchy), yang menjelaskan bahwa organisasi yang awalnya demokratis lambat laun cenderung membentuk oligarki internal di mana elite lama mempertahankan kontrol atas struktur kepemimpinan (Michels, 1911). Fenomena ini terjadi dalam banyak organisasi kepemudaan, di mana seleksi kader tidak benar-benar berbasis kapasitas, tetapi lebih pada patronase dan kedekatan dengan elite struktural. Survei terhadap 50 kader yang telah aktif lebih dari dua tahun menunjukkan bahwa 75% merasa peluang mereka untuk naik ke tingkat wilayah atau pusat sangat kecil jika mereka tidak memiliki rekam jejak sebagai ketua. Studi lain mengungkapkan bahwa hanya 15% posisi strategis tingkat wilayah diisi oleh kader yang tidak pernah menjabat sebagai ketua. Ini bukan sekadar angka statistik, tetapi potret dari bagaimana distribusi kader telah dikondisikan menjadi sistem tertutup. 

Dampak Struktural: Alienasi Kader dan Stagnasi Organisasi 

Implikasi dari sistem seleksi tertutup ini tidak bisa dianggap remeh. Organisasi yang seharusnya menjadi ruang pertumbuhan dan penguatan kolektif justru terjebak dalam sistem yang semakin menyingkirkan kader-kader progresif. Dampaknya: 

  1. Demoralisasi Kader Kader-kader yang telah mengabdikan diri dengan gagasan, kerja nyata, dan militansi, tetapi tidak memiliki jalur formal kepemimpinan, akan mengalami alienasi struktural. Konsep ini sesuai dengan teori alienasi Karl Marx, di mana individu merasa terasing dari sistem yang mereka bangun sendiri akibat ketidakadilan dalam distribusi peran (Marx, 1844) .
  2. Minimnya Inovasi dan Stagnasi Organisasi Ketika distribusi kader hanya berputar dalam lingkaran elite yang sama, organisasi kehilangan keberagaman perspektif dan gagasan. Studi James MacGregor Burns (1978) dalam Leadership menunjukkan bahwa kepemimpinan transformatif hanya bisa terjadi ketika ada kebebasan inovasi dalam kaderisasi, bukan ketika hanya sekelompok elite yang terus berkuasa (Burns, 1978) 
  3. Reproduksi Status Quo Organisasi akan semakin sulit melakukan perubahan struktural karena mekanisme seleksi kader telah dikondisikan untuk mempertahankan pola lama. Kritik terhadap sistem hanya akan dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai upaya korektif untuk perbaikan. Pierre Bourdieu (1986) dalam The Forms of Capital menjelaskan bagaimana modal sosial digunakan oleh elite untuk mempertahankan dominasi mereka di ruang kekuasaan, termasuk dalam organisasi kepemudaan (Bourdieu, 1986).

Melampaui Ilusi "Pengorbanan" dalam Kaderisasi 

Dalam banyak kesempatan, organisasi sering menggunakan filosofi Jawa Jer Basuki Mawa Beya (kesuksesan membutuhkan pengorbanan) untuk membenarkan sistem distribusi kader yang eksklusif. Namun, pertanyaannya: pengorbanan siapa yang sebenarnya dihargai? Jika hanya mereka yang memiliki rekam jejak struktural yang dianggap layak untuk melanjutkan estafet kepemimpinan, maka konsep pengorbanan dalam organisasi telah direduksi menjadi sekadar kapital simbolik bagi segelintir orang. Padahal, esensi perjuangan dalam organisasi bukan hanya tentang siapa yang pernah menjadi ketua, tetapi tentang siapa yang benar-benar memiliki kapasitas dan komitmen untuk membawa perubahan. 

Membangun Organisasi yang Meritokratis dan Progresif 

Organisasi yang sehat harus mampu mendobrak pola kaderisasi yang stagnan dan membangun sistem yang lebih terbuka. Beberapa langkah yang harus dilakukan:

  1. Dekonstruksi Mekanisme Seleksi Kader, kaderisasi harus didasarkan pada kompetensi, loyalitas, dan visi strategis, bukan semata-mata pada riwayat jabatan. 
  2. Menormalisasi Kritik sebagai Bagian dari Regenerasi, kritik terhadap sistem kaderisasi bukanlah bentuk pembangkangan, tetapi justru merupakan bagian dari upaya membangun organisasi yang lebih adaptif dan progresif. 
  3. Menghentikan Praktik Eksklusivitas dalam Distribusi Kader, setiap kader yang memiliki kapasitas dan komitmen harus diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang, tanpa terjebak dalam hierarki formal yang membatasi peran mereka. 
Kini, kita dihadapkan pada pilihan yang fundamental: melanjutkan pola kaderisasi yang eksklusif dan mempertahankan status quo, atau mendobrak sistem ini dan membangun organisasi yang benar-benar inklusif, meritokratis, dan transformatif? Perubahan tidak terjadi dengan sendirinya. Jika organisasi ingin tetap relevan dan berdaya, maka distribusi kader harus dikembalikan pada prinsip keterbukaan dan keadilan. Karena sejatinya, kaderisasi bukan hanya tentang siapa yang pernah menjadi ketua, tetapi tentang siapa yang benar-benar siap untuk memimpin.

kontributor    : Syafril 
Editor              : Nur Fadila

Posting Komentar

0 Komentar